Monday, November 27, 2017

Awal dari Kehidupan

RIP VJ. SOELIHAM
Mendengar kata "mati, wafat, meninggal" pasti ada kesedihan yang menyertainya. Manusiawi sekali, kesedihan akan muncul ketika ditinggal orang yang dicintainya. Kebersamaan yang selama ini berlangsung akan secara jasmani terputus tak tersambung lagi. Tidak untuk menyentuhnya, tidak untuk berbicara, tidak untuk berinteraksi langsung, semua itu tdak lagi bisa dilakukan. Dan kematian itu memisahkan kebersamaan.
Proses kematian menjadi menakutkan bagi sebgaian orang dan sebaliknya menjadi proses yang indah bagi sebagian orang. Filipi 1:21 Karena bagiku hidup adalah Kristus   dan mati adalah keuntungan.
Ditinggalkan orang yang dikasihi memang sangat menyedihkan, kehilangan memang sangat menyakitkan.
Ingat ketika aku mestinya pulang ke rumah setelah hampir sebulan tidak pulang, di "kost"an di Malang dan memilih untuk ikut ke rumah salah satu teman di Jember. Sampai suatu saat aku mendapat khabar dari kerabatku kalau ibu ku masuk rumah sakit dan menyuruhku untuk segera pulang ke Nganjuk. Dan beberapa menit kemudian sebelum aku berangkat, mendapat khabar agar jangan ke Nganjuk tetapi ke Lumajang saja. Disini aku sudah punya firasat, ibuku sudah meninggal. Dimana sebelumnya aku harus ke Nganjuk tetapi beberapa menit kemudian diminta ke Lumajang saja. Itu terjadi sekitar bulan November 1993.
Peristiwa kedua yang sangat menyedihkan ketika beberapa tahun lalu sekitar bulan Maret 2010, kakakku harus masuk rumah sakit dan akhirnya Tuhan memanggilnya.
Kembali kesedihan manusiawi menghampiriku, Bapakku yang selama ini kulihat sehat, tegar harus beberapa kali masuk rumah sakit, harus operasi di RS Kediri, di RSAL Surabaya dan terakhir dirawat di RS Lumajang sampai akhirnya Tuhan memanggilnya.
Sore 11 Nov 17 khabar bapak masuk RS, jam 02.00 wib bpk drop dan jam 04.00 wib bapak dipanggil Tuhan. Khabar menyedihkan tetapi mesti direlakan.
Kematian benar benar menyedihkan bagi yang ditinggalkan, tetapi ini harus dipahami bahwa kematian harus terjadi, kepada siapapun, kapanpun, dimanapun. Harus dipahami juga bahwa kematian bukan akhir dari kehidupan, justru merupakan awal dari kehidupan abadi yang kita yakini.
Allah menghendaki agar semua manusia memperoleh kehidupan yang kekal (1Tim 2:4), sehingga Ia sendiri mengutus Putera-Nya yang tunggal sehingga barang siapa percaya kepada-Nya tidak akan binasa melainkan memperoleh kehidupan kekal (lih. Yoh 3:16). Demikian pula, Kristus menjanjikan kehidupan kekal bagi umat-Nya (lih. 1Yoh 2:25) dan menganugerahkan rahmat keselamatan ini dengan kedatangan-Nya ke dunia, kerelaan-Nya menderita dan wafat di kayu salib. Kristus berkata bahwa Ia sendiri akan mempersiapkan tempat bagi kita (lih. Yoh 14:2).

Friday, April 07, 2017

PUNCAK B29


Awal perjalanan, Pura Mandara Giri Semeru Agung
Gerbang Selamat Datang
Mendengar puncak B29 pertama kali setelah sekian tahun keluar dari kota kelahiranku Lumajang, menjadi pertanyaan, "Dimanakah itu?". Dan keponakanku yang masih TK menjelaskan dengan rinci, "Itu lho Pakde, di Bromo, jalan ini (sambil menunjuk jalan depan rumah) terus saja sampai deh nanti". Ealah.... kog aku baru dengar, ternyata B29 itu adalah istilah orang Perhutani untuk menandai lokasi / wilayah hutan. Dan itu sudah aku lewati sekitar 30 tahun lalu ketika aku ke Bromo melihat upacara Kasada, bersama beberapa saudaraku. Kami harus berjalan kaki mulai dari desa Senduro sampai melewati puncak B29 dan akhirnya turun ke lautan pasir Gn Bromo dan selanjutnya ke puncak Gn Bromo melewati tangga.
Indah
Namun sekarang untuk menuju ke puncak B29 tidak terlalu sulit,
karena dengan kendaraan sepeda motor bisa sampai parkiran yang disediakan penduduk dan berjalan kaki beberapa ratus meter, bahkan kadang kala bisa sampai puncak B29 atau B30.


Sunrise
Dari puncak B30
Dengan ditemani Iwan Subiantoro (keponakan) dan sepeda motor Honda, kami berangkat jam 04.00 wib, pagi, berharap perjalanan sekitar 1 - 1,5 jam bisa ditempuh untuk selanjutnya menikmati sunrise. Berbekal minuman dan sedikit camilan, serta tidak lupa senjata traveller, kamera DLSR + tripot. Dan jangan lupa jaket tebal, sarung serta penutup kepala, untuk menahan dinginnya cuaca.
Gn Semeru dilihat dari puncak B29
Iwan yang sudah terbiasa dengan track, begitu lincah menelusuri jalan aspal yg kadang berlubang.
Sampai di puncak B29 sekitar jam 05.15 wib, gelap dengan bintang yang berkedip, dingin menemani kami, belum ada pengunjung lain kecuali satu tenda yang tidak terdengar seorang pun, mungkin sedang lelap didinginnya puncak B30.
Kami harus tetap bergerak agar tubuh kami tetap hangat dan kacang yang kami bawa cukup membantu untuk selalu menggerakan mulut.

Iwan sang Pengendara
Dari ufuk timur samar samar mulai terlihat langit bersinar, kuning kemerahan. Sudah terasa keindahan yang dipancarkan oleh yang penguasa pagi. Warna merah mulai dominan dan biru juga mulai terlihat sedikit demi sedikit menghapus hitam.
Disisi barat Gn. Bromo mulai terlihat keagungannya, lautan pasir nampak begitu luas membentang, disisi Selatan Gn. Semeru dengan puncak Mahameru nya tidak mau ketinggalan. Ladang kentang, kol, bawang menghijau di sebelah timur. Pemandangan indah yang tidak akan ada dimanapun.

Salah satu Pura yang ada di lautan pasir 
Puas menyaksikan sang surya terbit dengan keagungannya, kami lanjutkan perjalanan ke Gn. Bromo melalui lereng selatan, jalan setapak yang memang biasa dipakai penduduk setempat ke desa Ranupani. Hanya orang orang yang pengalaman yang bisa melewatinya, karena medannya begitu berat, licin dan sempit serta berbahaya. Untungnya Iwan sudah beberapa kali melewatinya, sehingga hapal "medan"nya.
Satu jam kami menelusuri jalan berat, licin dan akhirnya sampai di plawangan (pertigaan antara ke Ranupane - Tumpang dan Gn Bromo). Ada penjual Mi goreng disini, dan kami melahap mi yang telah dipesan ditambah beberapa bakwan dan teh manis hangat.
Melintasi padang pasir kami bertemu dengan sekumpulan kendaraan roda 4 ( Toyota Hardtop), dan beberapa pengendara motor trail. Serta beberapa tempat dipakai untuk pre wedding, diantara semak, pohon perdu, pasir, bukit bukit kecil.
Meniti tangga ke puncak Gn. Bromo menjadi tantangan tersendiri, apalagi umur diatas 40 tahun, tetapi semangat tetap menyala. Tangga sudah tertutup debu vulkanik, sehingga sudah tidak seperti tangga lagi, hanya kelihatan tiang-tiang tangganya saja. Dan up.....akhirnya sampai juga di puncak Gn. Bromo. Indah, menakjubkan, mempesona, sangar, berbahaya, magis  menjadi satu identitas.
Gunung yang menjadi tempat suci bagi saudara kita umat Hindu Tengger.
Setelah puas
Sang Petualang
Angkutan resmi lautan pasir Gn Bromo


Lautan Pasir Gn Bromo
Turis manca negara pun takjub

Perjalanan pulang via Ranupani

Ranupani 

Sticker identitas pendaki Gn Semeru



Ranu Regulo
Pondok Pendaki Ranu Regulo