Thursday, June 19, 2025

DARI TAKUT MENJADI TERPANGGIL: MENJADI PENDONOR DARAH DENGAN HATI

 Oleh: Piet Hendro

Banyak orang menganggap donor darah sebagai tindakan sederhana, datang, duduk, disuntik, dan selesai. Tapi bagi sebagian orang seperti saya, donor darah adalah perjuangan panjang yang penuh keberanian kecil yang tidak terlihat. Bukan karena tidak ingin membantu, tapi karena ada satu hal yang selalu menghantui sejak kecil: ketakutan terhadap jarum suntik.

Saya masih ingat dengan jelas saat kecil, ketika sedang sakit dan dokter datang ke rumah untuk memeriksa. Begitu ia masuk ke gerbang rumah saya langsung kabur melalui jendela dan bersembunyi. Sejak saat itu, rasa takut terhadap jarum seperti membatu dalam tubuh saya. Setiap kali melihat alat suntik, tubuh saya menegang, napas jadi pendek, dan pikiran langsung melayang ke skenario-skenario yang menakutkan.

Namun hidup kadang memaksa kita menghadapi ketakutan yang paling dalam. Saya pernah menjalani operasi perut yang membuat saya harus dirawat di rumah sakit selama hampir seminggu. Selama itu, setiap hari saya harus menghadapi jarum: untuk infus, suntikan, dan pemeriksaan darah. Rasanya seperti dipaksa hidup berdampingan dengan mimpi buruk. Tapi di sisi lain, pengalaman itu juga menyadarkan saya bahwa ada kalanya kita tidak punya pilihan selain menghadapi rasa takut itu.

Meski begitu, donor darah tetap menjadi tantangan tersendiri. Keinginan untuk berbagi sudah lama tumbuh. Saya tahu bahwa setetes darah bisa menyelamatkan nyawa. Saya sering terlibat sebagai relawan dalam berbagai kegiatan sosial, termasuk acara donor darah. Saya membantu mengatur logistik, menyambut peserta, hingga menyemangati para pendonor. Tapi untuk benar-benar menjadi pendonor? Saya selalu mundur.

Hingga suatu saat, dengan seribu ekspresi dan perasaan yang bercampur, saya memutuskan untuk mencobanya.

Sejak langkah pertama ke lokasi donor, tubuh saya sudah dipenuhi keringat dingin. Saat pemeriksaan tekanan darah dan kadar hemoglobin, tangan saya terasa dingin dan berkeringat. Ketika akhirnya duduk di kursi donor, menunggu jarum disuntikkan ke lengan kiri, saya nyaris memejamkan mata sepenuhnya. Meski petugas PMI terus menenangkan dan berkata, “Tidak sakit, kok. Tenang saja,” tapi tubuh saya tetap menegang. Keringat mengalir tanpa bisa saya kendalikan. Bahkan saat darah mulai mengalir ke kantong, waktu terasa berjalan lambat. Beberapa menit itu terasa seperti satu jam.

Namun, setelah semuanya selesai, saya merasa... lega. Ada perasaan bahagia yang tidak bisa dijelaskan. Rasa takut memang tidak langsung hilang. Tapi untuk pertama kalinya, saya merasa berhasil mengalahkan sesuatu dalam diri saya sendiri.

Sejak saat itu, saya mulai rutin mendonor darah. Mungkin belum sesering orang-orang yang benar-benar terbiasa, tapi saya berusaha terus kembali setiap kali ada kesempatan. Di PMI, di acara sosial, di event-event komunitas. Dan ya, setiap kali tetap ada rasa takut. Tetap berkeringat. Tetap tegang. Tapi kali ini, saya tahu bahwa ketakutan itu bukan halangan untuk tetap berbagi.

Karena ternyata, keberanian bukan berarti tidak pernah merasa takut. Keberanian adalah tetap melangkah, meski rasa takut itu masih ada.

Saya menulis ini bukan untuk memamerkan apa yang telah saya lakukan. Tapi untuk mengajak mereka yang masih ragu, yang punya ketakutan yang sama, untuk percaya: jika saya yang sangat takut jarum saja bisa menjadi pendonor darah, maka Anda pun bisa.

Mungkin tubuh Anda akan berkeringat, mungkin Anda akan gemetar. Tapi percayalah, saat darah Anda mengalir untuk orang lain, yang terasa bukan lagi rasa sakit, melainkan kepuasan hati karena tahu Anda sedang menyelamatkan nyawa.

Dan untuk saya pribadi, tidak ada lagi “misteri” antara ingin menyumbang atau menghindar. Kini, saya memilih untuk hadir, dan berbagi. Setetes demi setetes, melawan ketakutan, demi kehidupan.

 

















 

No comments: