Banyak orang menganggap donor darah sebagai tindakan sederhana, datang, duduk, disuntik, dan selesai. Tapi bagi sebagian orang seperti saya, donor darah adalah perjuangan panjang yang penuh keberanian kecil yang tidak terlihat. Bukan karena tidak ingin membantu, tapi karena ada satu hal yang selalu menghantui sejak kecil: ketakutan terhadap jarum suntik.
Saya
masih ingat dengan jelas saat kecil, ketika sedang sakit dan dokter datang ke
rumah untuk memeriksa. Begitu ia masuk ke gerbang rumah saya langsung kabur melalui
jendela dan bersembunyi. Sejak saat itu, rasa takut terhadap jarum seperti
membatu dalam tubuh saya. Setiap kali melihat alat suntik, tubuh saya menegang,
napas jadi pendek, dan pikiran langsung melayang ke skenario-skenario yang
menakutkan.
Namun
hidup kadang memaksa kita menghadapi ketakutan yang paling dalam. Saya pernah
menjalani operasi perut yang membuat saya harus dirawat di rumah sakit selama
hampir seminggu. Selama itu, setiap hari saya harus menghadapi jarum: untuk
infus, suntikan, dan pemeriksaan darah. Rasanya seperti dipaksa hidup
berdampingan dengan mimpi buruk. Tapi di sisi lain, pengalaman itu juga
menyadarkan saya bahwa ada kalanya kita tidak punya pilihan selain menghadapi
rasa takut itu.
Meski
begitu, donor darah tetap menjadi tantangan tersendiri. Keinginan untuk berbagi
sudah lama tumbuh. Saya tahu bahwa setetes darah bisa menyelamatkan nyawa. Saya
sering terlibat sebagai relawan dalam berbagai kegiatan sosial, termasuk acara
donor darah. Saya membantu mengatur logistik, menyambut peserta, hingga
menyemangati para pendonor. Tapi untuk benar-benar menjadi pendonor? Saya
selalu mundur.
Hingga
suatu saat, dengan seribu ekspresi dan perasaan yang bercampur, saya memutuskan
untuk mencobanya.
Sejak
langkah pertama ke lokasi donor, tubuh saya sudah dipenuhi keringat dingin.
Saat pemeriksaan tekanan darah dan kadar hemoglobin, tangan saya terasa dingin
dan berkeringat. Ketika akhirnya duduk di kursi donor, menunggu jarum
disuntikkan ke lengan kiri, saya nyaris memejamkan mata sepenuhnya. Meski
petugas PMI terus menenangkan dan berkata, “Tidak sakit, kok. Tenang saja,”
tapi tubuh saya tetap menegang. Keringat mengalir tanpa bisa saya kendalikan.
Bahkan saat darah mulai mengalir ke kantong, waktu terasa berjalan lambat.
Beberapa menit itu terasa seperti satu jam.
Namun,
setelah semuanya selesai, saya merasa... lega. Ada perasaan bahagia yang tidak
bisa dijelaskan. Rasa takut memang tidak langsung hilang. Tapi untuk pertama
kalinya, saya merasa berhasil mengalahkan sesuatu dalam diri saya sendiri.
Sejak saat itu, saya mulai rutin mendonor darah. Mungkin belum sesering orang-orang yang benar-benar terbiasa, tapi saya berusaha terus kembali setiap kali ada kesempatan. Di PMI, di acara sosial, di event-event komunitas. Dan ya, setiap kali tetap ada rasa takut. Tetap berkeringat. Tetap tegang. Tapi kali ini, saya tahu bahwa ketakutan itu bukan halangan untuk tetap berbagi.
Karena ternyata, keberanian bukan berarti tidak pernah merasa takut. Keberanian adalah tetap melangkah, meski rasa takut itu masih ada.
Saya
menulis ini bukan untuk memamerkan apa yang telah saya lakukan. Tapi untuk
mengajak mereka yang masih ragu, yang punya ketakutan yang sama, untuk percaya:
jika saya yang sangat takut jarum saja bisa menjadi pendonor darah, maka Anda
pun bisa.
Mungkin tubuh Anda akan berkeringat, mungkin Anda akan gemetar. Tapi percayalah, saat darah Anda mengalir untuk orang lain, yang terasa bukan lagi rasa sakit, melainkan kepuasan hati karena tahu Anda sedang menyelamatkan nyawa.
Dan untuk saya pribadi, tidak ada lagi “misteri” antara ingin menyumbang atau menghindar. Kini, saya memilih untuk hadir, dan berbagi. Setetes demi setetes, melawan ketakutan, demi kehidupan.
No comments:
Post a Comment