Keberangkatan kami untuk kedua
kalinya menuju Gunung Ratai, Pesawaran, dimulai dengan berkumpul di Rumah Makan
Chi Chi—milik salah satu anggota komunitas Lampung Hash—pada Minggu, 12 Mei
2025, pukul 06.20 WIB. Kali ini kami berangkat menggunakan tiga mobil,
masing-masing milik Ko Anton, Ko Sunhin, dan Mas Heru.
Gunung Ratai, atau Gunung Pesawaran, merupakan stratovolcano aktif dengan ketinggian 1.682 meter di atas permukaan laut. Terletak di Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung, gunung ini menjadi salah satu puncak tertinggi dan populer di kawasan tersebut. Secara administratif, ia berada di Kecamatan Way Ratai, sekitar 55–70 km dari Kota Bandar Lampung.
Perjalanan Menuju Basecamp
Perjalanan kami dari Bandar
Lampung menempuh rute melalui Hanura dan Pantai Klara. Setelah sampai di
pertigaan Padang Cermin, kami belok kanan menuju Pasar Umbul Kluwih. Di titik
ini, kami menyewa mobil pick-up karena kendaraan roda empat tidak dapat melanjutkan
ke desa terakhir. Jalanan mulai menantang, dengan aspal yang berlubang dan
sebagian rusak. Perlu kehati-hatian ekstra, terutama karena jalurnya sempit dan
hanya bisa dilalui satu mobil dalam satu waktu.
Setiba di kampung terakhir, area parkir sangat terbatas—hanya cukup untuk sekitar empat mobil. Kami sempat mengalami kendala: ban belakang mobil Mas Heru kempes, dan ban serep yang sulit dikeluarkan membuat kami tertahan cukup lama.
Menuju Basecamp Punggung Naga
Pukul 09.30 WIB, pendakian kami
dimulai dari parkiran dengan menyusuri jalur kebun kopi. Jalur berupa tanah
merah yang basah dan lengket akibat hujan semalam. Meski licin dan menanjak,
suasana tetap ceria karena semangat dan canda tawa rombongan. Di sepanjang
perjalanan, kami menikmati hijaunya tanaman kopi
dan sesekali terlihat hamparan
laut serta puncak gunung di kejauhan. Jalur ini masih bisa dilalui motor atau
ojek lokal dengan tarif Rp 20.000 pulang-pergi.
Pukul 10.27 WIB, kami tiba di
basecamp Punggung Naga, sebuah area terbuka yang biasa digunakan pendaki
untuk berkemah sebelum melanjutkan ke puncak. Fasilitasnya cukup lengkap: lampu
tenaga surya, dua kamar mandi dengan air bersih, serta tempat sampah terpisah
untuk sampah organik dan non-organik. Beberapa pondok dan gardu pandang
menambah daya tarik lokasi ini, cocok untuk istirahat dan berfoto.
Malam sebelumnya sempat turun hujan deras disertai angin kencang. Beberapa pendaki mengalami hypothermia karena kurangnya persiapan, tapi bersyukur mereka mendapat bantuan. Ini menjadi pengingat bahwa pendakian membutuhkan perencanaan matang—terutama dalam hal fisik dan perlengkapan.
Jalur Menuju Puncak Gunung Ratai
Pukul 11.25 WIB, saya bersama Pak
Hadi, Azel, dan Dyank memutuskan melanjutkan perjalanan ke puncak, sementara
yang lain memilih jalur ke air terjun Lidah Naga. Setelah makan siang dan
beristirahat, kami bergabung dengan beberapa rombongan lain—termasuk dua
pendaki perempuan dan sekitar 10 siswa SMA 15 Bandar Lampung.
1. Pintu Rimba (11.57 WIB)
Dari basecamp, kami menuju Pintu Rimba, batas antara kebun kopi dan hutan. Dari sini, kontur mulai menanjak dengan tanah yang masih basah. Hutan mulai rapat dan jalur makin sempit. Di sisi kiri, pemandangan laut terbuka terlihat sangat indah.
2. Pos 1 (12.07 WIB)
Tidak terlalu jauh dari pintu rimba, kami sampai di Pos 1. Jalur menuju pos ini masih menanjak dengan lintasan tanah merah licin. Beberapa pendaki terlihat terpeleset, meninggalkan jejak sepatu di tanah liat yang licin. Ranting dan akar menjadi pegangan penting.
3. Pos 2 (12.34 WIB)
Perjalanan ke Pos 2 cukup
menguras tenaga. Vegetasi makin lebat dan jalur semakin tertutup semak. Kami
sempat mengambil foto beberapa tanaman liar dan bunga hutan yang menarik. Di
sini, jalur sedikit menyempit dan di beberapa bagian sangat licin.
4. Pos 3 (12.57 WIB)
Setelah menanjak terus, kami tiba di Pos 3—sebuah area datar dan cukup luas. Banyak pendaki berhenti di sini untuk istirahat. Jalurnya sedikit landai dibandingkan sebelumnya, meski tetap licin. Kami bertemu dengan beberapa pendaki yang sedang turun.
Jalur dari Pos 3 ke Pos 4 cukup berat. Awalnya datar, tapi kemudian menanjak tajam dan sangat licin. Saya beberapa kali harus membantu Azel, Dyank, dan pendaki lain untuk melewati jalur ini. Pegangan berupa akar dan ranting sangat membantu. Di Pos 4, jalurnya sempit tapi terbuka dengan pemandangan lembah dan sisi lain gunung.
6. Jalur Ekstrem & Persimpangan (14.01 WIB)
Setelah Pos 4, kami memasuki bagian jalur paling ekstrem di Gunung Ratai. Ini adalah tanjakan tercuram yang dilengkapi tali webbing. Jalur ini sangat menantang, terutama bagi pemula. Licin, berlumpur, dan berbahaya jika tidak hati-hati. Banyak pendaki harus saling membantu untuk melewatinya. Di ujung tanjakan, ada persimpangan jalur.
- Ke kiri: spot foto Teluk Semangka.
- Ke kanan: jalur langsung menuju puncak.
Kami sempat belok kiri untuk
menikmati pemandangan Teluk Semangka yang spektakuler. Di sini, saya bertemu
lagi dengan Robertus Bejo, RD. Bagas, dan RD. Desta, yang sebelumnya pernah
mengajak saya mendaki ke Gunung Ratai.
7. Puncak Tugu (14.18 WIB)
Setelah puas berfoto, kami kembali ke persimpangan dan naik ke Puncak Tugu, puncak utama Gunung Ratai. Area puncaknya terbuka, cukup luas, dan sudah dipadati pendaki dari berbagai daerah. Udara terasa segar, dan rasa capek pun terbayar lunas dengan pemandangan luar biasa.
Turun Kembali ke Basecamp
Pukul 14.37 WIB, kami mulai menuruni jalur yang sama. Turun ternyata jauh lebih berat. Jalur licin membuat banyak pendaki terpeleset. Saya kembali membantu beberapa pendaki, termasuk Azel yang sudah kelelahan. Banyak pendaki pemula hanya memakai sandal atau sepatu lari, yang tentu sangat berisiko.
Pukul 17.12 WIB, kami tiba kembali di basecamp Punggung Naga. Masih ada Mas Heru, Mbak Yuli, dan Ci Lan yang menunggu, sementara yang lain sudah turun ke parkiran. Azel benar-benar kelelahan dan perlu dibantu turun, apalagi di jalur curam dan berlumpur.
Penutup
Gunung Ratai adalah destinasi pendakian yang menantang sekaligus menyenangkan. Jalur pendakiannya memberikan pengalaman yang lengkap: dari kebun kopi, hutan hujan tropis, tanjakan curam, hingga pemandangan laut dan lembah yang memukau. Tapi satu hal yang pasti—pendakian ke Gunung Ratai bukan hanya soal sampai ke puncak, melainkan bagaimana kita bersyukur atas setiap langkah, tawa, dan bantuan yang saling kita bagi sepanjang jalur.
No comments:
Post a Comment