Kami berhenti untuk istirahat
makan siang di Warung Bakso Rudal 38 yang terletak di Candi Rejo, Way
Pangubuan, Lampung Utara. Setelah cukup beristirahat dan mengisi tenaga,
perjalanan kami lanjutkan menuju Sekincau.
Namun, di daerah Bukit Kemuning, salah satu kendaraan travel yang berangkat bersamaan mengalami kendala pada kipas pendingin. Mesin kendaraan mengalami overheat, dan setelah dilakukan pemeriksaan, ternyata motor penggerak kipas dapat dibeli di toko spare part terdekat. Sayangnya, komponen kipas yang rusak tidak tersedia, sehingga teknisi harus mengakalinya agar kendaraan dapat kembali beroperasi. Setelah perbaikan darurat selesai, kami baru bisa melanjutkan perjalanan sekitar pukul 18.00 WIB, dan tiba di rumah yang kami tuju di Sekincau sekitar pukul 20.00 WIB.
Sekincau adalah sebuah kecamatan
yang terletak di Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung. Terletak pada
ketinggian sekitar 1.000 meter di atas permukaan laut, wilayah ini menyuguhkan
udara yang sejuk dan suasana yang tenang. Sekincau berjarak sekitar 40 km dari
ibu kota kabupaten, Liwa, dan sekitar 220 km dari Kota Bandar Lampung.
Perjalanan dari Bandar Lampung menuju Sekincau dapat ditempuh menggunakan
kendaraan pribadi maupun transportasi umum seperti travel, dengan waktu tempuh
sekitar 4 hingga 5 jam, tergantung kondisi lalu lintas dan cuaca.
Sekincau dikenal akan keindahan alamnya yang memukau. Salah satu daya tarik utamanya adalah Gunung Sekincau dengan ketinggian mencapai 1.718 meter di atas permukaan laut. Selain panorama alam, kawasan ini juga menjadi desa wisata rintisan yang menonjolkan pengolahan kopi serta produk-produk turunannya.
Mayoritas penduduk Sekincau bermata pencaharian sebagai petani. Luas lahan pertanian di wilayah ini mencapai sekitar 2.400 hektare, terdiri dari perkebunan dan lahan kering. Komoditas utama yang dihasilkan meliputi cabai, tomat, sawi, kentang, kubis, serta berbagai jenis umbi-umbian. Tak hanya itu, usaha peternakan seperti sapi, kerbau, kambing, domba, dan ayam ras juga turut berkembang di daerah ini.
Kawasan ini juga memiliki daya tarik wisata religi, salah satunya adalah Gua Maria Bunda Kerahiman yang menjadi tujuan ziarah dan wisata rohani bagi banyak pengunjung.
Selama di Sekincau, kami menginap
di Rumah Susteran Hati Kudus Sekincau, sebuah rumah sederhana yang dikelilingi
oleh kebun kopi dan taman bunga yang asri, serta dijaga oleh dua ekor anjing.
Tempat ini telah beberapa kali menjadi tempat persinggahan kami. Dulu, rumah
ini pernah dihuni oleh para suster Claris sebelum mereka pindah ke rumah baru
yang berada lebih dekat dengan Gua Maria.
Sekincau selalu memberikan kesan
damai dengan udara pegunungan yang segar dan keramahan penduduknya. Perjalanan
panjang dan hambatan di jalan seolah terbayar lunas begitu tiba di tempat ini.
Hari Kedua – Jumat, 6 Juni 2025
Pagi itu kami bangun lebih awal, memanfaatkan waktu untuk berjalan-jalan menelusuri jalan setapak di sekitar kebun kopi yang sedang berbuah. Di kejauhan, matahari perlahan terbit di antara sela-sela daun kopi, menghadirkan pemandangan yang menyejukkan jiwa. Embun masih membasahi rumput dan tanah saat kami melintasi sebagian area tanaman sayur. Udara pagi yang segar dan kesejukan alam sekitar benar-benar menyegarkan, sementara di sisi lain terlihat para pekebun sibuk memupuk tanaman mereka.
Setelah menikmati keindahan pagi,
kami kembali ke rumah para suster. Kami mandi dan sarapan dengan menu sederhana
namun menggugah selera, sangat cocok dinikmati dalam sejuknya udara Sekincau.
Hari ini kami berencana mengunjungi Gua Maria, melaksanakan Jalan Salib, dan mengikuti Misa Kudus di Kapel Biara Suster Klaris.
Pukul 09.40 WIB, kami memulai perjalanan rohani kami dengan memasuki gerbang Porta Sancta, tanda awal Jalan Salib. Kami memulai dari perhentian pertama: Yesus dijatuhi hukuman mati. Sembari mendaraskan doa, kami juga menikmati perjalanan spiritual yang berpadu dengan keindahan alam sekitar—bunga-bunga, buah kopi yang menggantung, udara yang sejuk, keheningan yang membawa kedamaian.
Jalan Salib (Via Crucis) merupakan serangkaian peristiwa yang menggambarkan penderitaan dan pengorbanan Yesus Kristus dalam perjalanan menuju penyaliban-Nya di Bukit Golgota. Tradisi ini sangat penting dalam Gereja Katolik, terutama pada masa Prapaskah dan Jumat Agung.
Empat belas perhentian Jalan
Salib mencakup: Yesus dijatuhi hukuman mati, memanggul salib, jatuh tiga kali,
bertemu Maria dan perempuan-perempuan Yerusalem, dibantu oleh Simon dari
Kirene, diseka wajah-Nya oleh Veronika, ditanggalkan pakaiannya, disalibkan,
wafat, diturunkan dari salib, hingga akhirnya dimakamkan.
Makna Jalan Salib bukan sekadar mengenang, tetapi mengajak kita untuk merenungkan secara spiritual penderitaan Yesus, mengidentifikasi diri dengan pengorbanan-Nya, serta mengalami pertobatan dan pemurnian iman dalam perjalanan hidup kita.
Setelah menyelesaikan Jalan Salib, kami singgah dan berdoa sejenak di Gua Maria Bunda Kerahiman, yang terletak dalam kompleks ziarah rohani yang asri. Di dalamnya terdapat juga Gereja Santo Fransiskus Asisi, Kapel Biara Santa Clara, dan biara para suster Klaris. Tempat ini dikelilingi oleh kebun kopi dan udara pegunungan yang sejuk, menjadikannya tempat berdoa yang damai dan tenang.
Tepat pukul 11.00 WIB, kami tiba di Kapel Biara Santa Clara, dan Misa Kudus segera dimulai. Misa kali ini dihadiri oleh kami berdua, satu keluarga peziarah dari Way Kanan, serta seluruh suster Klaris. Suasana hening dan penuh damai mengiringi perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh RP. Bartholomeus Didit Tri Haryadi, OFM.
Setelah Misa, kami sempat bercengkerama dengan beberapa suster, termasuk Suster Xavier yang kami kenal sejak awal berdirinya komunitas suster Klaris di Lampung. Sambutan hangat para suster sungguh menyentuh hati. Suster Xavier bahkan memberikan sebatang cokelat sebagai tanda kasih mereka kepada kami. Awalnya kami hanya berniat untuk melakukan Jalan Salib, berdoa di Gua Maria, dan mengikuti Misa pagi. Namun, sambutan hangat dan perhatian yang tulus dari para suster sungguh membuat hari kami istimewa. Mereka bahkan menyiapkan makan siang dan mengajak kami menikmati teh hangat sambil berbincang santai. Tanpa terasa, waktu telah menunjukkan pukul 13.35 WIB.Kami pun berpamitan, melanjutkan perjalanan ke destinasi berikutnya: Wisata Sekolah Kopi di Sukajaya, Sumber Jaya. Sebelum beranjak, para suster dengan ramah membekali kami oleh-oleh ketela rambat (mantang) sebuah tanda cinta yang sederhana namun penuh makna.
No comments:
Post a Comment